15 Agustus 2008

Gelak tawa rerumputan

coba kau lihat, perhatikan

rumput di sana sedang tertawa

bergelak dengan riang

melantunkan kidung kerinduan

bentar lagi langitnya kelabu

bentar lagi hujan akan datang

butir-butir bening itu akan menyapa helai mereka

kawannya, angin telah mengabarinya



ia tetap tertawa

meski telah lama ia terkurung dalam kebosanan

meski telah lama ia terpuruk dalam jeruji kerinduan

ia bosan dengan embun pagi yang memberinya harapan hampa

ia bosan dengan mentari pagi yang memberinya tatapan kosong

ia merindukan gelatik, kijang dan belalang itu

ia merindukan irama alam basahnya

dia masih tertawa, kau dengar itu, ia masih saja tergelak-gelak

sampai malam menjelang

kemudian mereka terlelap dan bermimpi

hujan turun besoknya

Read More......

Jauh versi …………

Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu, blantika music Indonesia heboh gara-gara lagu Jauh yang naik daun. Lagu yang konon kabarnya menyimpan sejuta misteri. Mulai dari penciptanya, sebab musabab diciptakannya sampai aura mistis yang menyertainya. Gak tanggung-tanggung, bukan hanya pakar dunia tarik suara yang mencoba berikomentar, pakar telematika dan pakar “dunia alam gaib” ikut angkat bicara. Semua memberikan suara sesuai porsinya masing-masing.

Belakangan diketahui pemilik lagu Jauh adalah band asal Makassar, setelah perseteruan sengit dengan band asal bandung yang juga mengklaim diri sebagai pemilik sah lagu tersebut. Lagu “sederhana” yang ramai dinyanyikan orang.

Itu saja ….? Hanya sampai di situ …. ? Ternyata Jauh masih menunggu. Dia menuggu tangan “kreatif” dari pelaku music Indonesia. Menunggu untuk dipermak.
Menengok kejadian beberapa lagu Indonesia yang pernah ngetop, tak menutup kemungkinan Jauh pun akan bernasib sama. Maksud saya adalah Jauh dalam bentuk yang lain.

Seperti beberapa lagu Peter Pan, Band Dewa atopun grup music lain yang dijungkir balik sampai akhirnya menjadi lagu berwajah dangdut. Kemudian dikemas dalam bentuk disk entah itu bajakan ato original yang penjualannya malah booming ketimbang versi asli. Ato menjadi lagu wajib dalam konser music dangdut yang dibawakan oleh Dewi Persik misalnya ato Trio macan misalnya. Yang jelas ngedangdut.


Ato pula, diaransemen ulang. Ditarik ekornya, diputar kepalanya dan sim salabim, jadilah house music. Diperdengarkan di club-club malam sambil diiringi goyangan penari telanjang dan segelas martini. Ato dalam angkot di sebuah terminal yang gersang bau keringat. Sungguh nikmat.

Ada lagi, masih dalam genre yang sama hanya saja dalam bahasa yang berbeda. Yang pastinya bukan dalam bahasa arab. Bisa Jauh versi jawa ato Jauh versi Inggris. Bisa saja kan ? Tapi seperti kebanyakan kejadian, biasanya dalam bahasa jawa (aku tak bermaksud mendiskreditkan, lho, hanya yang biasa aku dapatkan adalah demikian). Ingat lagu “aku tak biasa … bila tak memeluk dirimu…”

Aku tak tahu apakah fenomena ini merupakan suatu kemajuan dalam dunia music karena menambah khasanah ato suatu kekurangan karena adanya unsur penjiplakan. Terkadang pula ada diantara kita yang ilfill kalo tiba-tiba lagu yang dijadikan “idola” tampil dalam wajah lain. Lagu yang udah “gue banget”, ngedangdut ato jadi house music. Pastinya beberapa dari kita menikmati hasil daur ulang tersebut. Urusan royalti ato semacamnya, gak ngerti aku.

Ada manis, ada asem, ada asin, ada-ada saja (minjem bahasa iklan).

Aku mencoba membuat Jauh versiku sendiri, versi bahasa daerahku. Gak perfect amat sih, tapi lumayanlah. Sedikit salah dalam konversi, maklum “anak belakang”. Selamat menikmati.

Pura engka /// assipojingeng /// Idi na iya /// monromi jaji … /// melo wallufai /// iyyamanengnge … /// tapi bajomu /// tuli engka ri lalenna nippikku ///
Mabela laomu /// musalai aleku /// keddidi iya /// marudani lao ri idi /// pura ucoba massappa paselleta /// namu’ de’ gaga /// mappadae idi kasi’ kessinna ///

Ada yang mo buat yang lain. Silahkan saja.

Read More......

02 Agustus 2008

Sukses secara Kejiwaan (versiku)

Ini adalah opini yang tidak sengaja kutulis waktu lagi ngopi bareng teman. Percakapan ngalor ngidul. Dengan segelas kopi panas dan beberapa batang rokok. Awalnya sih obrolan seputar kuliah yang belom kelar-kelar, mahasiswi yang kian tahun kian pintar mode sampai akhirnya obrolan sampai pada hal yang sensitive. Hal-hal yang berbau kejiwaan.

Mau tau, simak tulisan berikut ini

Wisuda, bagi mahasiswa adalah masa yang paling ditunggu. Hari dimana kedaulatan kita diakui. Suatu saat dimana kita akan diakui dihadapan banyak orang sebagai orang. Untuk mencapainya, tak semudah membalik telapak tangan. Jalannya berkelok, nanjak, berbatu. Berlikunya jalan menuju kesana adalah suatu tantangan tersendiri. Terkadang ada yang menyediakan jalan pintas, mulus tanpa rintangan (ada juga sih tapi intensitasnya dapat diabaikan) meskipun dengan konsekuensi kocek digali lebih dalam. Lebih gila lagi terkadang kehormatan yang digali lebih dalam. Amat dalam. Ada lagi jalan mesti nanjak, turun, berbatu sampai ada yang tidak bisa mencapainya.

Pada umumnya, disemua tempat di Negara ini, kuliah strata satu idealnya adalah 4 tahun. Bisa lebih cepat, bisa sedikit lebih lambat. Lebih cepat satu semester misalnya atau sedikit lebih lambat 3 tahun misalnya. Predikat “excellent” dengan sendirinya melekat atau dilekatkan orang yang punya wewenang untuk itu pada mereka yang mampu menyelesaikan studinya kurang dari atau tepat 4 tahun. Lantas mereka yang lebih lambat, tergantung kadar keterlambatannya, dapat apa ya …???
Hubungan selesai studi dengan kejiwaan ????


Menurut teman saya (bukan pakar apa-apa, hanya mahasiswa yang datang telat, pulang juga telat), mereka yang kuliah lebih dari 4 tahun pada dasarnya adalah orang yang sukses secara kejiwaan. Sedangkan mereka yang kuliah kurang dari atau tepat 4 tahun kurang lebih kurang sukses secara kejiwaan. Coba bayangkan, bagaimana kalo mereka yang “excellent” sampai harus ditahan lebih lama dari 4 tahun karena sesuatu misalnya, pasti tidak bisa “survive” kayak kita-kita yang udah lebih dari 4 tahun (malah hampir “expired”). Mereka bisa-bisa stress. Kerja keras untuk ngejar “excellent” tapi gagal. Kita juga udah kerja keras bro, ngejar “excellent”, tapi gagal. Tapi kita masih bisa senyum kayak sekarang. Masih bisa ngopi bareng. Artinya kita sukses secara kejiwaan, meskipun bagi sebahagian orang, kita gagal akademik. Gitu pren.

Kurang lebih demikian apologi dari teman saya. Apologi karena sudah gagal ngejar “excellent”. Apologi karena sudah hampir “expired”. Tapi aku sepakat dengannya. Bukan lantaran karena “expired”nya, bukan juga lantaran dia itu prenku, kesamaan nasib, tapi lebih pada realita yang sering kudapatkan.

Seringkali aku berjumpa dengan rekan sejawat yang sudah “duluan”, atau orang yang diatasku, yang lebih dulu melepas status mahasiswanya, beragam komentar sering terlontar dari bibirnya. “ternyata jadi mahasiswa itu lebih enak dari pada nganggur” atau “selesaikan jatahmu 7 tahun itu ketimbang menambah panjang daftar pengangguran” atau “tidak usah selesai cepat, nanti orang tuamu tersinggung”. Ada juga yang mengungkapkan bagaimana sedikit keberhasilan mereka dan cuma sedikit yang mau mengungkapkan bahwa mereka telah sukses.

Kenapa banyak diantara mereka yang mengeluh. Mengeluhkan bagaimana susahnya persaingan untuk memperebutkan sebuah kursi di ruang guru, atau sebuah kursi di bagian administrasi kantor. Bagaimana bersaing diantara 500 orang guna menggantikan satu orang yang sudah pensiun. Dan keluhan mereka meyakinkan saya bahwa mereka sebenarnya tidak siap. Secara kejiwaan, mereka tidak siap. Aku makin sepakat dengan kata temanku.

Yang ini mesti dicatat. Lebih dari itu semua, saya tidak memaksa siapapun untuk sepakat denganku dan temanku. Penilaian itu semua lebih pada bagaimana kita memandang dan bagaimana memposisikan masalah agar minimal beban kita berkurang. Kejiwaan kita dapat terkontrol. Anda sepakat atau tidak, tergantung bagaimanalah anda memandangnya.

Obrolan berakhir ketika gelas kopi telah lama mengering. Hanya sisa coklat yang menempel di bibir gelas. Good Luck.

Read More......

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP