17 September 2008

Pelajaran dari Kampus

Kampus, U ‘nowlah apa fungsinya. Bagaimana bentuknya. Apa yang dilakukan didalamnya. Kampus adalah tempat orang untuk menuntut ilmu yang kelak akan dibawanya menghadapi dunia yang ternyata tak selebar daun kelor. Jangan salah pilih PT, adalah pesan yang biasa kita dengar dari orang pintar. Maksudnya kalau pilih jurusan mungkin, pilihlah yang sesuai dengan maunya kita. Itu saja. Mungkin.

Aku juga demikian. Di kampus aku belajar. Belajar bagaimana menentukan muatan sebuah partikel elementer. Belajar agama lagi (pelajaran yang kukenal sejak aku kelas satu SD). Belajar bagaimana fisika dapat menentukan massa sebuah planet nun jauh disana. Aku belajar bagaimana berinteraksi dengan beragam latar belakang manusia. Belajar bagaimana angin dapat menghasilkan listrik. Terakhir, belajar bagaimana jadi pembohong dan penipu kelas teri. Yang terakhir ini, (jangan kaget kalau banyak pejabat jebolan PT kelak menjadi pembohong, penipu, koruptor). Asal tau saja, sebagian ilmu “maling” itu didapat dari kampus.

Percaya …??? Gak Papa. Gak Percaya…??? Kudu percaya !!!


Aku mulai dengan kejadian ketika awal kali aku masuk kampus dan mengenal apa yang orang bilang Ospek. Ospek adalah Ospek. Dia identik dengan pemerasan, perpeloncoan, dan kekerasan. Waktuku dulu, yang pertama kali aku dengar adalah bahwa pada hari itu, Hak Asasiku sebagai manusia dicabut. Dicabut men. Hebat kan. Dan aku mulai dicekoki dengan tugas-tugas yang kuyakin waktu mereka merumuskannya, tak ada niat untuk mengumpulkannya.

Senior tidak pernah bersalah dan itu adalah hukum yang berlaku di wilayahnya. Kapanpun bagaimanapun senior tidak pernah salah. Yang salah adalah kita-kita, mahasiswa baru. Kalaupun tidak punya kesalahan, dicarikan masalah supaya punya salah.

Dalam sumpah mahasiswa yang kami ucapkan ramai-ramai, kita itu anti kekerasan. Tapi nyatanya, kita digebukin, disuruh push up, jalan jongkok, apalah dengan kedok melatih kedisiplinan, membentuk mental dan kepribadian guna menghadapi dunia kampus yang ribet. Kaliah harus bawa inilah, itulah, pakai ginian, gituan. Dari sini saya belaja nindas, meras dan membodoh-bodohi orang.

Ada juga sih ospek yang benar-benar ospek. Mengenal dunia kampus dan dinamikanya
Selesai ospek, mulai nimba ilmu secara benner. Rutinitas sebagai mahasiswa mulai jalan. Kampus, kongkow, kampung. He…he…he…

Pelajaran selanjutnya adalah Posisi menentukan nilai. Dalam konteks ujian, calon maling biasanya mencari tempat yang strategis. Strategis misalnya karena paling belakang biar bisa nyontek. Dekat dengan teman yang pintar biar kecipratan pintarnya. Ada lagi, gunakan kesempatan kalau kebetulan yang ngawas adalah mahasiswa juga (asisten) paling bagus kalau junior dan dikenal baik. Saya pikir pelajaran maling ini adalah lanjutan dari tingkat bawah. Lanjutan dari SMA. Yang lebih parah lagi, saat ujian, kertas ujian tidak dikumpul. Dibiarin kosong sehingga ada kesempatan untuk mengulang.

Dari sini pelajaran maling ini di asah lagi biar professional. Jadinya tau, mencuri itu punya momen yang tepat. Kesempatan, niat dan posisi yang tepat.

Selanjutnya, aku pernah ngerasain berorganisasi di kampus. Yang namanya organisasi, perkara sunnah bagi orang umum. Akan menjadi wajib bagi orang betul-betul ingin perubahan dalam dirinya. Makruh dan mubah bagi orang yang dikepalanya hanya kampus kost n kampung. Haram bagi birokrat yang alergi dengan demonstrasi.

Dari sinilah pelajaran nomor tiga ku peroleh. Persoalan mark up, penggelembungan dana sampai penyelewengan dana kerap dilakukan. Mengajukan proposal kegiatan. Edar kiri-kanan, masuk instansi yang dianggap berkepentingan. Paling sering rektorat, gubernuran, walikota, DPRD. Kertas 1 rim seharga Rp. 27.500 dimark up sampai Rp. 35.000 atau lebih malah. Katanya, mang gitu kok bahasa proposal.

Pelajaran keempat, sesajen. Sesajen, biasanya muncul ketika ada ritual-ritual gitu. Upacara keagamaan. Tapi kalau mahasiswa bawa sesajen? Ya, bisalah. Mahasiswa juga khan punya ritual. Ritual ngurus nilai atau ritual ngurus … Mulai dari sesajen kelas 1 berupa kelapa, beras ketan, minyak kelapa, gula merah. Diantar ke rumah dosen dengan alasan titipan ibu dari kampung. Sesajen kelas 2 berupa pulsa misalnya. Goyangan bahu dan berpakaian seksi adalah sesajen juga lho. Coba buktiin, masuk ruangan dosen dengan rok selutut, trus kancing baju bagian atas terbuka 2 sambil nenteng map. Udah gitu bicaranya sedikit suit-suit centil, dijamin lolos. Pastinya dosennya mesti cowok trus mahasiswanya mesti cewek. Kalo cowok ???

Ada lagi sesajen kelas atas. Sesajen VVIP seperti paket nginap di hotel kelas melati. Gak sendirian. Coba … ??? Dari sini mata kuliah umum berjalan. Mata kuliah Strategi Suap dan Penyuapan. Belajar bagaimana menyuap, strategi dan tekniknya.

Bro, saya gak ada niat mendiskreditkan lho, sueerrrrr.

Ada juga sih mahasiswa yang kuliah benar-benar karena tuntutan ilmu. Ilmu yang begitu mencekoki kepalanya. Ilmu aliran putih, yang diatas tadi aliran hitam. Mahasiswa yang menggunakan kesempatan kuliahnya untuk belajar dan menempa diri agar kelak berguna bagi nusa dan bangsanya. Aku salah satu dari mereka lho (He…he…he…he…).

Ohya, buat teman-teman, kanda-kanda dan adik-adik yang masih setia dengan idealismenya (konon kabarnya mahasiswa adalah orang-orang idealis, aku juga tau itu dan masih sepakat sampai sekarang) agar tetap menjaga idealismenya. Idealisme selama menjadi mahasiswa dan idealisme setelah menjadi mahasiswa. Banyak kasus lho, idealis selama menjadi mahasiswa, setelahnya, gak lagi.

Read More......

16 September 2008

14 Agustus 2008

Poligami, istri manapun pasti tak sudi mendengarnya, apalagi mengalaminya. Tak sudi berbagi dengan wanita lain, dalam hal ini istri muda. Wanita yang dipoligami pasti akan merasa hancur remuk dalam hatinya. Menurut agama islam sendiri, poligami tidaklah haram. Syaratnya hanya apakah kita bisa berlaku adil terhadap istri-istri. Kalau mampu silahkan saja. Kalau tidak mampu, mending gak usah. Ngerepotin.

Aku punya seorang sepupu, anak dari sodara bapak saya. Anggaplah namanya Bunga (sebagaimana biasanya nama samaran untuk wanita). Orangnya sederhana saja, gak neko-neko. Menurutku, dia adalah istri yang amat sangat baik untuk suaminya. Istri yang telah memberikan 3 orang anak manis-manis.

Mungkin dia tidak pernah berpikiran bahwa kehidupan keluarganya kelak akan dimasuki oleh seorang wanita lain. Berniat memikirkan punya madu saja mungkin tidak pernah.

Dan ketika itu terjadi (maksud saya dia punya madu), saya memikirkan suatu kejadian luar biasa. Sebuah pertengkaran dalam rumah tangga. “gak mau, pokoknya gak mau dimadu” atau “ceraikan aku, ceraikan” menjadi bahasa mereka. Aku sudah membayangkan sebuah keluarga yang ramai dengan pertengkaran. Anak-anak yang tak terurus.

Ternyata aku salah. Tepatnya saat menjenguk anak keduanya yang masuk rumah sakit di salah satu rumah sakit ternama di Makassar. Diruang perawatan untuk anak-anak. Ada aku sebagai pembesuk, ada sepupuku, ada suaminya, ada si bungsu, ada lagi wanita berjilbab besar yang perawakannya sedikit lebih pendek dari sepupuku dan sedikit lebih gemuk. Siapa ya ??? pikirku. (oh ya, sepupuku juga seorang yang memakai jilbab besar).
“ini istri barunya kakak” ujar sepupuku datar dengan sedikit senyum. Orang yang ditunjuk senyum sedikit kepadaku.

Ha …… sedatar itu ??? Ekspresi sepupuku santai saja. Aku tak menemukan adanya aroma emosi dalam ucapannya. Tenang layaknya air telaga. Aku saja sempat sedikit “gimana gettoh” waktu tahu suaminya nikah lagi. Lah … dia malah dengan santainya bilang “ini istri barunya kakak”. Si bungsu juga bilang kalau umminya sekarang ada dua.

Aku salah. Sepupuku ini bukan wanita sembarang. Seorang wanita hebat. Tak pernah ku lihat air matanya. Dan dia tetap wanita hebat sampai kembali aku bertemu dengannya tadi siang. Tepatnya di pemakaman.

Anak keduanya sudah mengakhiri perjuangannya, menang dan dipanggil menghadapNya untuk menerima medali. Di rumah duka, tak ada isak tangis, raungan histeris kehilangan anak yang sayangi. Semua itu tak ada. Hanya wajah-wajah tenang seakan ini adalah hal biasa.

Saat pemakaman, saat jenazah dimasukkan ke liang lahat, aku melihatnya. Dia ada dikerumunan. Menggendong si bungsu. Menyaksikan bagaimana bongkahan-bongkahan tanah galian menutupi jenazah. Tak ada jeritan “gak rela”. Sampai akhirnya, gundukan tanah merah itu tampak, pertahanannya bobol. Kulihat bahunya berguncang, ada bening kristal memaksa keluar dari sudut matanya. Aku jelas melihatnya. Amat jelas. Rupanya ia punya air mata juga.

Hanya sebentar ia dengan air matanya. Ia lalu memegang nisan itu, berdoa dan mungkin juga bilang "tunggu ummi di surga, ya nak". Ia sudah tenang, setenang telaga sampai akhirnya makam ditinggalkan.

Sungguh, aku baru menjumpai seorang istri yang ikhlas dengan apa yang dialaminya. Saat dimadu, saat harus kehilangan seorang anak. Ia masih bisa tersenyum. Tiba-tiba aku berharap dapat istri yang sepertinya.

Read More......

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP