30 April 2009

Monyet Jatuh?

Monyet dan sejenisnya, yang hidup di pohon, menjadikan ranting dan dahan pohon sebagai jalur transportasi utama. Dengan ranting pohon, monyet berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya sekedar untuk memenuhi hajat hidup. Apakah dengan melompat dari pohon ke pohon ataukah dengan berayun dari ranting pohon satu ke ranting pohon lainnya.




Tapi pernahkah kita berpikir bahwa monyet tidak pernah jatuh ketika melompat dari pohon ke pohon atau berayun dari dahan ke dahan. Penyebabnya ternyata adalah mereka tidak pernah berpikiran untuk jatuh. Pikiran ini tidak ada dalam kepala mereka. Monyet tidak pernah memikirkan untuk “jatuh” dan merasa tidak perlu untuk memikirkannya. sebab memang tidak diberi kuasa untuk itu.

Tetapi apa salahnya mengambil hikmah dari sana, dan jika ada monyet yang jatuh saat “lagi berpindah”, seperti pada manusia yang jatuh saat lagi duduk di kursi malas, anggap saja itu adalah musibah.

Intinya, aku hanya mau bilang begini, pikiranlah yang mengendalikan diri kita. Seringkali kita berpikiran akan "jatuh" saat "berpindah tempat", akhirnya tidak kemana-mana. Tidak bikin apa-apa. So ... tidak usah terlalu takut untuk "jatuh", anggap "musibah" dan pada umumnya "jatuh" akan membuat kita jadi lebih kuat.
Foto diambil dari www.foto.detik.com


Read More......

02 April 2009

Tetanggaku tentang Tawuran Pelajar

Tetanggaku, seorang pensiunan kepala sekolah, ngamuk-ngamuk. Bukan lantaran rumahnya kemalingan atau istrinya selingkuh. Sebabnya, melihat siaran di TV anak-anak SMA, perempuan lagi, yang saling baku hantam sesamanya perempuan.

Dulu, ketika ia masih menjabat, sering ia dapati tawuran pelajar, tapi laki-laki. Bukannya maklum sebab yang tawuran anak laki-laki, ia meradang juga. Dijewernya telinga siswanya yang terlibat tawuran, dipanggilnya orang tua siswanya. Kemudian dibuatkan kesepakatan, kurang lebih, sekali lagi terlibat tawuran dikeluarkan dari sekolah. Saat lagi menikmati masa tuanya, didapatinya hal yang sangat diluarkebiasaan. Siswa perempuan baku hantam. Hebat benar mereka.

Dalam ngamuknya, ia merapal “mantra macam-macam”. “Perempuan tidak beres, bisa-bisanya berkelahi”. Atau “Perempuan macam apa itu, kelakuan kayak preman”. Atau “Mo jadi apa kamu semua? Bukannya belajar baik-baik, berdandan cantik-cantik, eeeh malah jambak-jambakan rambut”. Atau “Kalau aku kepala sekolahmu, kamu sudah aku keluarkan dari sekolah, malu-maluin saja”. Atau lagi “Mau jadi apa bangsa ini kalo perempuannya kayak kamu semua, mo ngelahirin bandit”?

Oh ya, ketika “merapal mantra” telapak tanganya tidak saling menempel di dada, melainkan nangkring di pinggang. Sederhananya, berkacak pinggang.

Tetangga ini sepertinya paham betul bahwa tegaknya suatu bangsa bergantung pada perempuannya. Kalau perempuannya beres, bangsa akan besar. Kalau perempuannya tidak beres, bangsa juga akan tidak beres.

Tetanggaku ini hanya satu dari sekian banyak orang yang prihatin lantaran maraknya aksi perkelahian siswa cewek. Tapi jujur saja, dia juga bingung, koq eksposenya hampir bersamaan? Kejadian demi kejadian siswa cewek yang berkelahi di suatu tempat dengan tempat lainnya berada dalam rentang waktu yang berdekatan.

Tiba-tiba dia berujar “jangan-jangan ada yang mengatur skenario ini, pasti ada? Pasti ada sesuatunya? Yang pasti, bukan aku tetangga dan jangan menuduhku.


Read More......

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP