Polisi Bocah-Bocah
Entah kenapa belakangan ini, pemberitaan tentang Korps Baju Coklat lagi marak-maraknya. Setelah beberapa waktu lalu, mereka marak dikaitkan dengan anarkisme mahasiswa, pemberitaan heboh muncul seputar anarkisme antar mereka sendiri.
Rekaman video “perpeloncoan” yang dilakukan “polisi senior” kepada “juniornya” yang dilakukan di halaman sebuah asrama yang ditengarai aspol (meskipun kemudian disanggah bahwa itu hanyalah rekayasa) menunjukkan bahwa institusi ini juga menyimpan anarkisme tersembunyi. Junior ditinju, ditampar, ditendang.
Yang lebih menggelikan, bocah sungguhanpun pasti tahu bahwa itu menggelikan, perpeloncoan atau tepatnya penganiyaan dilakukan di sebuah kamar oleh polisi senior juga kepada juniornya. Kedoknya adalah “acara perpisahan dalam rangka pindah tugas”. Sungguh menggelikan. Acara perpisahan ditandai dengan tamparan di muka berkali-kali diakhiri dengan tinju di dada. Junior berkali-kali terjatuh, menjerit tertahan kesakitan, namun dipaksa berdiri lagi. Dari rekaman video yang aku dengar tayangannya di TV ada yang berucap “awas, jangan melapor”. Lho?
Kadiv Humas Polri dalam wawancaranya di TV berkilah bahwa “itu sebuah rekayasa” dan “itu hanya acara perpisahan” menunjukkan sebuah kepengecutan yang luar biasa. Berat untuk mengakui bahwa dalam Korps Baju Coklat, anarkisme itu juga ada.
Lantas kenapa judulnya Polisi Bocah-Bocah?
Rekaman video “perpeloncoan” yang dilakukan “polisi senior” kepada “juniornya” yang dilakukan di halaman sebuah asrama yang ditengarai aspol (meskipun kemudian disanggah bahwa itu hanyalah rekayasa) menunjukkan bahwa institusi ini juga menyimpan anarkisme tersembunyi. Junior ditinju, ditampar, ditendang.
Yang lebih menggelikan, bocah sungguhanpun pasti tahu bahwa itu menggelikan, perpeloncoan atau tepatnya penganiyaan dilakukan di sebuah kamar oleh polisi senior juga kepada juniornya. Kedoknya adalah “acara perpisahan dalam rangka pindah tugas”. Sungguh menggelikan. Acara perpisahan ditandai dengan tamparan di muka berkali-kali diakhiri dengan tinju di dada. Junior berkali-kali terjatuh, menjerit tertahan kesakitan, namun dipaksa berdiri lagi. Dari rekaman video yang aku dengar tayangannya di TV ada yang berucap “awas, jangan melapor”. Lho?
Kadiv Humas Polri dalam wawancaranya di TV berkilah bahwa “itu sebuah rekayasa” dan “itu hanya acara perpisahan” menunjukkan sebuah kepengecutan yang luar biasa. Berat untuk mengakui bahwa dalam Korps Baju Coklat, anarkisme itu juga ada.
Lantas kenapa judulnya Polisi Bocah-Bocah?
Istilah ini aku dapatkan dari Kakak aku. Sebab ada kenalan yang mendaftar polisi, sudah bayar sekian juta walau akhirnya “jatuh” juga. Kabarnya jatuh pada tes terakhir yang aku dengar mereka bilang “pantohir”, entah tes macam apa aku tidak tahu. Kakak aku bilang mungkin bekingnya hanya “Polisi Bocah-Bocah”. Kurang punya pengaruh gitu, mungkin pangkatnya sedikit lebih rendah.
Hah, Polisi Bocah-Bocah. Saat sekarang, dengan pemahamanku, kata-kata itu aku maknakan lebih luas. Banyak lulusan SMA yang terobsesi dengan Korps Baju Coklat. Karena obsesinya, keluarga mendukung dengan dana cukup, “orang dalam” memberi jalan. Sudah rahasia umum bahwa untuk bisa “bergabung” dalam institusi ini, suap-menyuap adalah perkara biasa. Siapa kuat uangnya, siapa paling berpangkat bekingnya dijamin lulus. Dan pada akhirnya kebanyakan dari mereka yang lulus adalah orang-orang yang kuat dari segi financial dan segi koneksitas. Mental mereka belakangan.
Mereka-merekalah yang kebanyakan “berulah”. Bocah-Bocah lulusan SMA yang kurang sadar akan sebuah tanggung jawab. Bahwa mereka adalah pengayom masyarakat, pelindung masyarakat, penegak hukum dan teladan bagi masyarakat. Alih-alih bertanggung jawab, mereka justru mempertontonkan angkuhnya mereka pada masyarakat.
Contohnya, dalam beberapa kejadian yang lalu, selain dua kasus di atas, bagaimana mereka mengamankan demonstrasi mahasiswa. Demonstran dipukuli dengan pentungan, diinjak-injak, dikejar masuk kampus akhirnya kampus juga jadi korban. Dilempari, dipecahkan kacanya. Motor mahasiswa yang tidak ketangkap mahasiswanya “dicederai”. Pecah perang batu antara polisi mahasiswa.
Mereka itulah yang kemudian aku bahasakan Polisi Bocah-Bocah. Dari segi fisik, mereka adalah Polisi. Rambut cepak, jalan tegap. Dari segi mental, tak lebih dari Bocah-Bocah. Bocah-Bocah berambut cepak dan berjalan tegap.
Ck…ck…ck…ck…ck…ck…ck…ck…
Pernah juga sih aku menemukan polisi yang sungguhan, bukan yang bocah. Banyak juga malah. Polisi yang menyadari bahwa di pundaknya ada tanggung jawab yang besar. Menjadikan dirinya teladan masyarakat. Mereka, mungkin, yang paling bersemangat saat tes sebab tidak nyogok dan tidak punya beking. Mereka, mungkin, yang paling berdarah-darah saat pendidikan sebab bukan siapa-siapanya siapa. Mereka jadi polisi sebab “ingin mengisi hari-harinya dengan pengabdian”.
Tapi kenapa citra mereka dirusak oleh “Polisi Bocah-Bocah”? Sebuah PR yang lumayan berat.