20 Februari 2009

Polisi Bocah-Bocah

Entah kenapa belakangan ini, pemberitaan tentang Korps Baju Coklat lagi marak-maraknya. Setelah beberapa waktu lalu, mereka marak dikaitkan dengan anarkisme mahasiswa, pemberitaan heboh muncul seputar anarkisme antar mereka sendiri.

Rekaman video “perpeloncoan” yang dilakukan “polisi senior” kepada “juniornya” yang dilakukan di halaman sebuah asrama yang ditengarai aspol (meskipun kemudian disanggah bahwa itu hanyalah rekayasa) menunjukkan bahwa institusi ini juga menyimpan anarkisme tersembunyi. Junior ditinju, ditampar, ditendang.

Yang lebih menggelikan, bocah sungguhanpun pasti tahu bahwa itu menggelikan, perpeloncoan atau tepatnya penganiyaan dilakukan di sebuah kamar oleh polisi senior juga kepada juniornya. Kedoknya adalah “acara perpisahan dalam rangka pindah tugas”. Sungguh menggelikan. Acara perpisahan ditandai dengan tamparan di muka berkali-kali diakhiri dengan tinju di dada. Junior berkali-kali terjatuh, menjerit tertahan kesakitan, namun dipaksa berdiri lagi. Dari rekaman video yang aku dengar tayangannya di TV ada yang berucap “awas, jangan melapor”. Lho?

Kadiv Humas Polri dalam wawancaranya di TV berkilah bahwa “itu sebuah rekayasa” dan “itu hanya acara perpisahan” menunjukkan sebuah kepengecutan yang luar biasa. Berat untuk mengakui bahwa dalam Korps Baju Coklat, anarkisme itu juga ada.

Lantas kenapa judulnya Polisi Bocah-Bocah?

Istilah ini aku dapatkan dari Kakak aku. Sebab ada kenalan yang mendaftar polisi, sudah bayar sekian juta walau akhirnya “jatuh” juga. Kabarnya jatuh pada tes terakhir yang aku dengar mereka bilang “pantohir”, entah tes macam apa aku tidak tahu. Kakak aku bilang mungkin bekingnya hanya “Polisi Bocah-Bocah”. Kurang punya pengaruh gitu, mungkin pangkatnya sedikit lebih rendah.

Hah, Polisi Bocah-Bocah. Saat sekarang, dengan pemahamanku, kata-kata itu aku maknakan lebih luas. Banyak lulusan SMA yang terobsesi dengan Korps Baju Coklat. Karena obsesinya, keluarga mendukung dengan dana cukup, “orang dalam” memberi jalan. Sudah rahasia umum bahwa untuk bisa “bergabung” dalam institusi ini, suap-menyuap adalah perkara biasa. Siapa kuat uangnya, siapa paling berpangkat bekingnya dijamin lulus. Dan pada akhirnya kebanyakan dari mereka yang lulus adalah orang-orang yang kuat dari segi financial dan segi koneksitas. Mental mereka belakangan.

Mereka-merekalah yang kebanyakan “berulah”. Bocah-Bocah lulusan SMA yang kurang sadar akan sebuah tanggung jawab. Bahwa mereka adalah pengayom masyarakat, pelindung masyarakat, penegak hukum dan teladan bagi masyarakat. Alih-alih bertanggung jawab, mereka justru mempertontonkan angkuhnya mereka pada masyarakat.
Contohnya, dalam beberapa kejadian yang lalu, selain dua kasus di atas, bagaimana mereka mengamankan demonstrasi mahasiswa. Demonstran dipukuli dengan pentungan, diinjak-injak, dikejar masuk kampus akhirnya kampus juga jadi korban. Dilempari, dipecahkan kacanya. Motor mahasiswa yang tidak ketangkap mahasiswanya “dicederai”. Pecah perang batu antara polisi mahasiswa.

Mereka itulah yang kemudian aku bahasakan Polisi Bocah-Bocah. Dari segi fisik, mereka adalah Polisi. Rambut cepak, jalan tegap. Dari segi mental, tak lebih dari Bocah-Bocah. Bocah-Bocah berambut cepak dan berjalan tegap.

Ck…ck…ck…ck…ck…ck…ck…ck…

Pernah juga sih aku menemukan polisi yang sungguhan, bukan yang bocah. Banyak juga malah. Polisi yang menyadari bahwa di pundaknya ada tanggung jawab yang besar. Menjadikan dirinya teladan masyarakat. Mereka, mungkin, yang paling bersemangat saat tes sebab tidak nyogok dan tidak punya beking. Mereka, mungkin, yang paling berdarah-darah saat pendidikan sebab bukan siapa-siapanya siapa. Mereka jadi polisi sebab “ingin mengisi hari-harinya dengan pengabdian”.

Tapi kenapa citra mereka dirusak oleh “Polisi Bocah-Bocah”? Sebuah PR yang lumayan berat.


Read More......

06 Februari 2009

Disconnected ...

Seorang senior bertanya kepadaku “2 buah bohlam mempunyai daya masing-masing 5 watt dan 100 watt. Bohlam 5 watt menyala terus selama 10 menit (dengan isyarat berupa jari-jari tangan kanan yang membuka terus), sedangkan bohlam 100 watt mati padam berulang-ulang juga selama 10 menit (dengan isyarat jari-jari tangan kiri terbuka dan tertutup). Kemudian pertanyaannya, bohlam manakah yang paling banyak menggunakan energy listrik?

Kasus ini aku jumpai ketika aku baru saja menjadi seorang mahasiswa. Dengan akal dangkalku, aku menjawab bohlam 100 watt menggunakan energy listrik paling banyak. Secara, dalam fisika, energy listrik dihitung dari daya listrik dikalikan dengan lama waktu yang digunakan. “Mati padam berulang-ulang” dalam waktu 10 menit. Artinya, setelah dikalkulasi dengan mengabaikan berapa kali ia “mati” dan berapa kali ia “padam”, masing-masingnya memakan waktu selama 5 menit. Abis itu kalikan 5 menit (tentu saja setelah dikonversi ke detik) dengan daya lampu 100 watt. Pasti dapat hasilnya. Trus, nyalanya kapan? Berapa lama?

Tentu saja jawabanku salah. Aku terlalu focus pada isyarat tangan yang membuka dan menutup seakan berarti menyala dan padam berulang-ulang, sementara konteksnya mati padam berulang-ulang. Coba, dimana letak bedanya antara mati dan padam?

Kasus kedua

Aku punya seorang teman, namanya Cia. Pernah suatu ketika aku ke pondokannya. Saat lagi duduk cerita, aku menoleh padanya. Aku memegang dagu sambil berkata

“kenapa jidatmu?”

Spontan dia ikut memegang dagunya lalu bertanya balik

“kenapa?”

Aku diam saja, seperti yang aku inginkan. Beberapa saat kemudian dia baru tersadar, tertawa. Sadar kalau jidatnya pindah ke dagu, bukanlah. Sadar kalau yang aku tanyakan sebelumnya adalah jidat bukan dagu. Sementara aku memegang dagu, dia ikut-ikut memegang dagu.

Matanya melihat aku memegang dagu, telinganya mendengar aku bertanya tentang jidat. Tangannya mengikuti petunjuk mata, otaknya menerima sinyal dari telinga, mengaminkan kalo yang dipegang tangan sudah benar adalah jidat. Lho?

Kasus lain

Aku memberi tes pada mahasiswa baru yang datang melapor (seperti aku dulu, dengan kasus bohlam). Kemudian aku menggambar sebuah garis lurus dengan arah Utara diujung satunya dan Selatan diujung lain. Setelah itu aku bertanya, sebuah kereta listrik bergerak dari utara ke selatan dengan kecepatan 80 km/jam. Kereta itu memuat penumpang sebanyak 120 orang. Setelah berjalan selama 1 jam, tiba-tiba angin kencang bertiup ke arah yang sama dengan arah kereta. Kecepatan angin 90 km/jam. Pertanyannya, kearah manakah asap kereta tersebut? (soal seperti ini aku dapatkan ketika masih SMA)

Rata-rata mereka menjawab bahwa asap kereta bertiup ke arah Selatan dengan kecepatan 10 km/jam (dari 90 km/jam – 80 km/jam). Padahal kan salah. Mereka menjawab persis seperti aku menjawab pertanyaan bohlam dari seniorku ketika aku yang masih maba.

Lagi-lagi kecolongan. Mata menginformasikan kalau kereta dan angin bergerak ke arah yang sama. Dari gambar, mata cukup sukses mengaburkan otak tentang pendengaran telinga bahwa kereta ini adalah kereta listrik, bukan kereta api. Telinga cukup puas menangkap 80 km/jam kecepatan kereta dan 90 km/jam kecepatan angin. Otak langsung tanggap bahwa “asap” kereta ke arah selatan.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Beberapa kejadian seperti ini kelihatannya sepele namun cukup untuk menghibur diri, cukup menggelitik, dan aku berkesimpulan sendiri bahwa:

Seringkali terjadi miskomunikasi antara indra pelihat, indra pendengar, otak dan alat gerak. Mungkin inilah yang orang pintar sebut sebagai gerak reflex.

Pada umumnya orang pertama kali percaya pada apa yang dia lihat, kemudian apa yang dia dengar, selanjutnya apa yang dia pikirkan.

Pertanyaan selanjutnya, misalnya kamu punya nenek yang umurnya sudah 80 tahun. Badannya sudah tidak bisa tegap lagi, sudah bungkuk sangat, kalau berjalan pakai tongkat dengan satu tangan memegang punggung, kacamatanya sudah setebal pantat botol. Coba bayangkan bagaimana caranya nenek kamu itu tidur?

Read More......

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP