20 Juni 2008

Tsunami atau Longsor

Percakapan singkat yang terjadi waktu masih ngajar di salah satu sekolah swasta di Makassar. Pukul 13.00 WITA, lagi istirahat siang di ruang guru. Dari sekian guru yang ada, aku satu-satunya yang berstatus bujang n mahasiswa. Paket acaranya, nge(teh + rokok), meskipun yang kedua hanya aku yang ngelakuin.

"Sudah dapat rumah, Pak?" Tanya Pak ??? (Anggap saja namanya Pak Anu) kepada Pak !!! (Anggap saja namanya Pak Ana).

"Baru rencana mau liat-liat di Tanjung, Pak." Jawab Pak Ana.

"Kapan kesana Pak Ana, barengan, saya juga mau lihat?" Kata Pak /// (Anggap saja namanya Pak Ane) ikut "coddo".

Belum sempat Pak Ana menjawab, Pak Anu menyalib,
"Jangan di Tanjung, Pak. Bahaya. Bagaimana kalau ada tsunami?"
Dasar Pak Ana, mengiyakan.

"Iya juga ya, bagaimana kalau ada tsunami?" Tanyanya pada angin yang lewat.

"Bagaimana kalau di Gowa, Pak. Dekat-dekat Sungguminasa?" Pak Ane menawarkan solusi.

"Jangan juga Pak, Bili-Bili itu sudah retak. Tidak bertahan lama lagi. Bagaimana kalau musim hujan, Bili-Bili jebol?" Tanya Pak Anu mementahkan saran Pak Ane.
"Kalau Bili-Bili jebol, bukan hanya Sungguminasa, Makassar juga terendam." Tambah Pak Anu menguatkan argumennya.

"Jadi bagaimana dong"? Tanya Pak Ana. Matanya melihat Pak Anu mengharap jawaban. Pak Anu bungkam.


Aku sedari tadi mendengarkan percakapan mereka, percakapan orang tua. Aku juga menyimak tapi lebih fokus pada koran yang kubaca 'n rokokku.

"Kira-kira bagaimana Pak Amir?" Tanya Pak Ana.

Jujur saja, di sekolah ini adalah tempat kedua dimana aku dipangggil "Pak". Yang pertama ketika Pak BSR membawakan Surat Undangan Komisi Disiplin Fakultasku karena "sesuatu".

"Mudah koq, tunggu saja sampai tsunami lewat 'n Bili-Bili jebol. Setelah reda, baru ambil rumah. Mudah kan"? (Jawaban ini muntah di kepala, ndak di mulut, ndak tega juga).

"Saya ndak tau juga Pak." Jawabku.

Ndak lama lagi Tsunami di tangkap, pan Sumanto udah.
Percakapan berlalu dan ternyata tidak ada hasil.
Waktu berlalu, kelas mulai lagi. Pak Ana dan Pak Ane ada jam. Jadinya bergeser. Pak Anu sendiri tidak ada jam lagi. Aku, nanti jam ketiga-empat. Berdua di ruang guru, tiba-tiba Pak Anu tertawa terbahar-bahar (terbahak-bahak mah biasa).
Aku ndak mengerti, what's *** ******* **** with Mr. Anu.

"Batal rencannya lihat rumah, padahal tadi itu saya hanya main-main." Pak Anu mengerti bengongku.

Dasar orang tua, masih sempat-sempatnya ngerjain Pak Ana dengan Pak Ane. Tapi boleh juga, pikirku. JUST KIDDING ONLY.


Catatan :

Pak Anu : Guru tua, sudah bekeluarga, punya anak, tinggal di BTP.

Pak Ana : Guru muda, istrinya baru melahirkan.

Pak Ane : Guru muda, sudah berkeluarga, biasa ceramah di Masjid.

Pak Amir: Guru muda (cangkokan), masih mahasiswa, lagi nyusun skripsi, belum berkeluarga, biasa diceramahi.

1 comments:

Anonim 19 Juli 2008 pukul 07.08  

Aku lagi coba-coba

Posting Komentar

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP